Rabu, 17 Desember 2008

Tanah Airku Indonesia


Nasib “Tanah Airku Indonesia”

“Alangkah indahnya pemandangan yang tampak bagai­kan pulau yang begitu hijau, terkurung ditengah lautan tanah gersang yang tanpa peduli sedang ditraktor, digunduli, diratakan dengan tanah. ‘Persiapan untuk membangun perumahan Real Estate’ kata orang. Sisa penduduk desa rupanya tak rela menjual oasis, firdaus mereka.

“Saya jadi teringat indahnya lembah Pelayangan di desa Cilenggang, Serpong. Kalau saja cukup ber­uang, akan saya ikut berebut membeli tanah disitu. Bukan untuk membangun, melainkan untuk memperta­hankan alamnya sebagaimana semula, tanpa mengusir, menggusur, penduduk asalnya. Kalau saja saya sekaya Liem Sioe Liong, akan saya beli seluruh kawasan Puncak, berikut pegunungan di kawasan Cariu, Cikalong, demi mempertahankan keutuhan, keindahan, pesona alamnya.” begitu khayalan pak Arif yang dibisikkan pada saya.

“Kalau pohon mangga tumbuh di tepi jalan, meski sedap dipandang mata, buah-buahnya amat manis dan melimpah, siapa yang merasa peduli, risau, iba, sedih? ‘Engga ada yang punya kok’, kata orang. Tega orang merusaki, mematahkan dahan-dahannya, mengam­bil kayunya, memetik buah-buahnya meski belum masak, takut didului orang lain, lalu menebangnya. Lain jika pohon itu ‘ada yang punya’, ada yang menyayangi dan melindungi, lantas memagarinya, pohon itu akan selamat, terhindar dari perusakan, penghinaan, penodaan, perlakuan sewenang-wenang.

“Nah, begitulah nasib dari apa yang bisa diperoleh dengan bebas, misalnya air sungai, pasir, batu gunung, ikan laut, kayu hutan … Kalau saja kita merasa yang punya, merasa sayang akan alam kita, yang begitu hijau, indah dipandang mata, begitu hening, bening, sejuk disandang rasa, orang tidak sembarang akan membabat, menggusur hutan, bukit, menguruk lembah, situ yang membanggakan itu demi uang. ‘Uang hanya baik kalau menghamba, uang seperti setan kalau dijadikan raja’, kata suatu peribahasa. Maklum, suara saya hanya suara semut.” begitu pak Arif mengakhiri cerita.

Saya jadi teringat pengurangan areal hutan Jawa, Bali yang mencapai 90,5% menurut FAO (di waktu itu, Penulis). Betapa banyak hutan telah dan akan diubah lagi menjadi “hutan”, aspal, semen dan beton. Hiroshima, Naga­saki yang hancur bisa dibangun kembali. Warga fauna, flora yang terlanjur punah dan lenyapnya kekayaan hutan, pegunungan, perairan kita yang begitu memesona, tak pernah bisa kembali. Dan sayup-sayup melintaslah nyanyian “Tanah Airku Indonesia“, ibu pertiwi yang kita cintai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar